Teori-Teori Perilaku Menyimpang di Masyarakat - Guru Geografi
News Update
Loading...

Selasa, Agustus 27

Teori-Teori Perilaku Menyimpang di Masyarakat

Kehidupan manusia semakin kompleks seiring berkembangnya peradaban. Berbagai perilaku manusia kini sudah banyak yang tidak sesuai dengan kaidah hidup seorang manusia. 

Perilaku yang tidak sesuai tersebut dinamakan perilaku menyimpang. Beberapa ahli sosiologi mengemukakan teori terkait fenomena perilaku menyimpang ini.

Bila dilihat dari pelakuanya, perilaku menyimpang tidak hanya dilakukan secara perseorangan, tetapi tidak jarang dilakukan secara berkelompok. 

Penyimpangan yang dilakukan secara berkelompok disebut dengan subkultur menyimpang. Subkultur adalah sekumpulan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, atau gaya hidup yang berbeda dari kultur dominan.

Asal mula terjadinya subkultur menyimpang karena ada interaksi di antara sekelompok orang yang mendapatkan status atau cap menyimpang. Melalui intensitas interaksi terbentuklah perasaan senasib dalam menghadapi dilema yang sama. 

Para anggota dari subkultu seperti itu memiliki perasaan saling pengertian dan memiliki jalan pikiran, nilai dan norma serta aturan tingkahlaku yang berbeda dengan kultur dominan. 

Para anggota subkultur menyimpang biasanya juga mengajarkan kepada anggota baru tentang berbagai ketrampilan untuk melanggar hukum dan menghindari kejaran aparatus kontrol sosial. 
LGBT adalah perilaku menyimpang
1. Teori Anomie
Salah satu teori yang menjelaskan perilaku menyimpang adalah teori anomie Robert K. Merton (Narwoko dan Suyanto, 2004: 91). 

Teori ini berasumsi bahwa penyimpangan adalah akibat dari adanya berbagai ketegangan dalam struktur sosial sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang. Merton menggambarkan munculnya keadaan anomie sebagai berikut:
a.    Masyarakat industri modern, seperti Amerika Serikat, lebih mementingkan pencapaian kesuksesan materi yang diwujudkan dalam bentuk kemakmuran atau kekayaan dan pendidikan yang tinggi.
b.    Apabila hal tersebut dicapai maka dianggap telah mencapai tujuan-tujuan status atau  kultural (cultural goals) yang dicita-citakan oleh masyarakat. Untuk mencapai itu ternyata harus melalui akses atau cara kelembagaan yang sah (institutionalized means), misalnya sekolah dan pekerjaan formal.
c.    Namun ternyata akses kelembagaan yang sah jumlahnya tidak dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama lapiran bawah.
d.    Akibat dari keterbatasan akses tersebut maka muncul situasi anomie yaitu suatu situasi di mana tidak ada titik temu antara tujuan-tujuan status/kultural dan cara-cara yang sah yang tersedia untuk mencapainya.
e.    Anomie adalah suatu keadaan atau nama dari suatu situasi di mana kondisi sosial/situasi masyarakat lebih menekankan pentingnya tujuan-tujuan status, tetapi cara-cara yang sah untuk mencapainya jumlahnya lebih sedikit.

2. Teori Labelling 
Teori labelling menjelaskan penyimpangan terutama ketika perilaku sudah sampai pada tahap penyimpangan sekunder (secondary deviance). 

Teori lebih tertarik pada persoalan definisi-definisi sosial dan sanksi-sanksi sosial negatif yang dihubungankan dengan tekanan-tekanan individu untuk masuk pada tindakan yang lebih menyimpang. 

Teori ini tidak tertarik mengapa individu tertentu tertarik atau terlibat dalam tindakan menyimpang. Teori ini dalam menganalisis pemberian cap memusatkan pada reaksi orang. 

Artinya, ada orang-orang yang memberi definisi, julukan, atau pemberi label (definers/labeler) pada individu-individu atau tindakan yang menurut penilaian orang itu adalah negatif (narwoko dan Suyanto, 2004: 94-95). 

Teori labelling mendefinisikan penyimpangan sebagai suatu konsekuensi dari penarapan aturan-aturan dan sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar. 

Melalui definisi ini dapat ditetapkan bahwa menyimpang adalah tindakan yang dilabelkan kepada seseorang, atau kepada siapa lebel secara khusus telah ditetapkan. 

Dengan demikian dimensi penting dari penyimpangan adalah pada adanya reaksi masyarakat, bukan pada kualitas dati tindakan itu sendiri. 

Dengan kata lain, penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, tetapi melalui reaksi atau sanksi dari penonton sosialnya. Akibat dari pelabelan adalah pada tindakan penyimpangan lebih lanjut. 

Dengan adanya cap yang dilekatkan pada diri seseorang maka ia cenderung mengembangkan konsep diri yang menyimpang  dan berakibat pada suatu karier yang menyimpang. Proses terjadinya penyimpangan sekunder membutuhkan waktu yang panjang dan tidak kentara.

3.  Teori Belajar atau Teori Sosialisasi
Teori Belajar atau Teori Sosialisasi berpandangan bahwa penyimpangan perilaku adalah hasil dari proses belajar. Edwin H. Sutherland (dalam Narwoko dan Suyanto, 2004: 92-93) mengatakan bahwa penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari  dari norma-norma yang menyimpang, terutama dari subkultur atau antara teman-teman sebaya yang menyimpang. 

Di tingkat kelompok, perilaku menyimpang adalah suatu konsekuensi dari terjadinya konflik normatif. Artinya, perbedaan aturan sosial di berbagai kelompok sosial seperti sekolah, lingkungan tetangga, kelompok teman sebaya atau keluarga, bisa membingungkan individu yang masuk ke dalam komunitas-komunitas tersebut. Situasi ini dapat menyebabkan ketegangan yang berujung menjadi konflik noramtif pada diri individu. 

Saya berikan contoh: bila di sekolah seorang anak diajarkan nilai-nilai kejujuran, tetapi di luar sekolah nilai-nilai kejujuran telah ditinggalkan, maka perbedaan norma di antara berbagai kelompok sosial yang dialami anak tersebut dapat saja melunturkan nilai-nilai kejujuran yang diajarkan di sekolahnya.

Share with your friends

Yuk, berkomentar di blog ini!.

Maaf, komentar spam, link, ujaran kebencian tidak akan dipublish.

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done
close