Kerusuhan Suporter di Stadion Kanjuruhan Malang Tewaskan 129 Orang, Bukti Watak Primitif Susah Diobati - Guru Geografi
News Update
Loading...

Minggu, Oktober 2

Kerusuhan Suporter di Stadion Kanjuruhan Malang Tewaskan 129 Orang, Bukti Watak Primitif Susah Diobati

Sepakbola Indonesia kembali berduka setelah laga Liga 1 antara Arema vs Persebaya tadi malam, kerusuhan terjadi dan menelan 129 korban jiwa hingga data tadi pagi.

Kejadian ini menjadi headline di Indonesia sampai media internasional yang membandingkan dengan kejadian di Hillsborough Inggris dekade silam.

Suporter Aremania mengamuk setelah timnya dikalahkan Persebaya 2-3 di kandang sendiri. Sekitar 3.000an suporter turun ke lapangan merusak fasilitas stadioan, mobil damkar sampai polisi.

Jumlah aparat yang tidak sebanding dengan suporter membuat kericuhan tidak bisa dihindarkan. Untungnya para pemain sudah diamankan oleh panitia hingga keluar stadion.

Kerusuhan hingga menelan korban ratusan jiwa ini seolah menjadi hal yang memang tidak bisa dirubah dalam perilaku suporter di Indonesia.
Perilaku anarkis hasil otak primitif

Para suporter ini masih saja membawa jiwa primitif dan tidak menerima jika tim idolanya kalah. Budaya suporter primitif ini nampaknya tidak bisa dihilangkan dalam sepakbola Indonesia.

Sejak dulu sampai sekarang meskipun ada jargon "edukasi suporter", tetap saja terulang lagi. Sepakbola sudah seperti media judi bagi suporter. Gak menang ya gak untung. 

Perilaku anarkis menjadi ciri khas masyarakat Indonesia jika tidak puas akan sesuatu. Kerusuhan-kerusuhan seringkali terjadi di beberapa daerah entah itu saat sepakbola, tawuran gengster, atau demonstrasi.

Secara ilmiah hal ini juga berkaitan dengan perilaku "otak primitif" yang mana akan memicu reaksi terhadap suatu hal yang terjadi seketika di lapangan.

Biasanya usia remaja yang otaknya belum dewasa yang masih memiliki pola otak primitif ini. Namun di Indonesia orang usia dewasa pun nampaknya masih memiliki otak primitif.

Kerusuhan di Kanjuruhan Malang yang menewaskan 129 orang ini seperti sebuah ketololan yang membudaya di ekosistem suporter bola kita. Selain itu manajemen stadion dan pengamanan yang masih lemah menambah potensi korban jiwa.

Pemerintah harus bertindak tegas karena jangan sampai ada fenomena mati konyol seperti itu lagi. Sepakbola itu adalah hiburan bukan tempat perang. Jika di Indonesia masih menjadi tempat perang maka liga kompetisi lebih baik dibubarkan saja karena memang potensi rusuh tidak bisa dihilangkan dari mentalitas suporter Indonesia.

Share with your friends

Yuk, berkomentar di blog ini!.

Maaf, komentar spam, link, ujaran kebencian tidak akan dipublish.

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done
close